Pelayanan Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)
A. Pendahuluan
Perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut hukum perdata perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[1] Sedangkan menurut hukum islam perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalididzan, untuk menaati perintah Allh dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan
perkawinan berdasarkan penjelasan Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal (mendapatkan
keturunan) bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menikah
atau melangsungkan suatu perkawinan merupakan fitrah manusia yang tidak
dapat dihilangkan, tetapi harus dilaksanakan pada jalan yang benar agar
tidak menyimpang dari aturan yang pada aKompilasi Hukum Islamnya
menimbulkan malapetaka bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia
membutuhkan pelengkap hidup berupa perkawinan, laki-laki membutuhkan
seorang perempuan sebagai pasangannya, dan perempuan membutuhkan seorang
laki-laki sebagai pelindungnya, yang demikian ini merupakan hukum alam.
Tuhan
telah menciptakan segala mahluk yang ada dimuka bumi ini dengan
berpasang-pasangan. Manusia diciptakan untuk berjodoh-jodohan, agar
generasi yang akan datang di muka bumi ini bisa menyambung dan
meneruskan cita-cita generasi sebelumnya yang tidak selamanya hidup
didunia, karena usia mereka yang terbatas. Apabila ia tidak menurunkan
generasi berikutnya, maka tidak ada lagi generasi penyambung perjuangan,
dunia akan mati dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Perkawinan
adalah perilaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan di alam
dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan
manusia tetapi juga pada hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu manusia
sebagai makhluk yang berakal, perkawinan merupakan salah satu budaya
beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya tertutup,
sedangkan dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju,
luas dan lebih terbuka.
Budaya
perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada
suatu bangsa, tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana
masyarakat itu berada serta pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan
keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan
perkawinan bangsa Indonesia, bukan saja dipengaruhi adat budaya
masyarakat setempat tetapi juga dipengaruhi ajaran agama, bahkan juga
dipengaruhi budaya barat. Jadi, walaupun Bangsa Indonesia kini telah
memiliki hukum positif sebagai landasan dasar melakukan suatu
perkawinan, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, namun pada kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat
Indonesia masih tetap berlaku ketentuan adat dan upacara-upacara adat
dalam melangsungkan perkawinan yang berbeda-beda, antara satu lingkungan
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sebagai contoh masyarakat
Minangkabau dengan suatu tata tertib perkawinan yang bersendikan
keibuan, masyarakat Batak yang tata tertib perkawinannya bersendikan
kebapaan, dan masyarakat Jawa yang tata tertib perkawinannya bersendikan
kebapak-ibuan, yang di dalamnya tata tertib perkawinan tersebut
menggunakan suatu upacara adat perkawinan yang berbeda antara satu
dengan lainnya, selain itu juga menurut kepercayaan agama masing-masing.
Suatu
cita-cita setiap orang untuk melaksanakan perkawinan dan menginginkan
perkawinan itu berlangsung selama akhir hayat, karena perkawinan dalam
Islam bertujuan yaitu :
- Supaya umat manusia itu hidup dalam masyarakat yang teratur dan tentram, baik lahir maupun batin.
- Supaya kehidupan dalam suatu rumah tangga teratur dan tertib menuju kerukunan anak-anak yang shaleh, yang berjasa dan berguna kepada kedua orang tua, agama, masyarakat, bangsa dan negara.
- Supaya terjalin hubungan yang harmonis antara suami istri, seterusnya hubungan famili, sehingga akan terbentuk ukhuwah yang mendalam yang diridhoi Allah swt.
Bertolak dari rumusan tersebut bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari
pengertian negara hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan
Indonesia, artinya dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan
bernegara kita[2].
Dalam
prakteknya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap
aturan-aturan yang sudah ditentukan, seperti terjadinya perkawinan di
bawah umur, kawin siri, kawin kontrak, hal ini berdampak terhadap
perlindungan hak-hak dari keturunan hasil pernikahan tersebut. Perintah
Nabi SAW untuk melaksanakan pernikahan dan melarang membujang
terus-menerus juga sangat beralasan. Hal ini karena libido seksualitas
merupakan fitrah kemanusian dan juga makhluk hidup lainnya yang melekat
dalam diri setiap makhluk hidup yang suatu saat akan mendesak
penyalurannya. Bagi manusia penyaluran itu hanya ada satu jalan, yaitu
perkawinan. Yang paling hangat dibicarakan baru-baru ini terjadi
perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh Syekh Fuji terhadap Ulfa
gadis di bawah umur. Tidak sedikit yang melaksanakan kawin di bawah
tangan. Meski menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, perkawinan di
bawah tangan hingga kini masih banyak dilakukan. Bahkan sebenarnya tidak
sedikit perempuan yang mengetahui “ruginya” jika melaksanakan nikah di
bawah tangan atau kawin siri, namun tetap saja banyak yang mau
melakukannya dengan berbagai alasan. Dengar saja keluhan Ny. Ranti
(bukan nama sebenarnya). “Saat ini saya sudah menikah di bawah tangan
sebagai istri kedua. Hal ini sudah berlangsung sekitar satu tahun. Kami
sangat ingin membuat surat nikah di KUA, namun memerlukan surat izin
dari istri pertama suami. Tapi sangat sulit untuk memperolehnya, “ keluh
Ranti.[3] Demikian pula pernikahan yang terjadi antara Lutfiana
Ulfa (gadis dibawah umur) dengan Syekh Fuji yang terus mendapat sorotan
masyarakat dan pemerintah. Terkait perkawinan dini yang dilakukan
Pujiono Cahyo Wicaksono alias Syeh Puji terhadap Lutfiana Ulfah, gadis
bersuia 12 tahun di Bedono Semarang, membuat berang Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan menilai Syeh Pujiono
terindikasi mengidap penyakit pedopilia.
Akibat perbuatanya tersebut, menurut Meutia, Pujiono bisa dijerat
dengan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Tenaga Kerja dan
Undang Undang Perlindungan anak.[4]
Pernikahan yang mengundang
polemik di masyarakat tersebut, juga mengundang perhatian Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi, yang terus berupaya
membujuk Syekh Puji untuk mengembalikan Ulfah ke pangkuan orang tuanya,
karena menurut Seto, Ulfah masih di bawah umur sangat membutuhkan
perhatian serius dari orang tua. Bahkan KPAI berharap agar pernikahan
siri ini dibatalkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas peran dari Pelayanan Badan Penasehat pembinaan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)
sangat diperlukan, dan bagaimana kiprahnya dalam menangani kasus-kasus seperti tersebut di atas.
sangat diperlukan, dan bagaimana kiprahnya dalam menangani kasus-kasus seperti tersebut di atas.
B. Peranan BP4 Dalam Upaya Penyelesaian Perselisihan Perkawinan
Peraturan
Mentri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 28 ayat (3) menyebutkan bahwa
“Pengadilan Agama dalam berusaha mendamaikan kedua belah pihak dapat
meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan
Perceraian (BP4) agar menasehati kedua suami istri tersebut untuk hidup
makmur lagi dalam rumah tangga”.
Setiap
tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian
bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10
pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah tangga.[i]
Islam
dengan tegas menyatakan dalam Al-Quran bahwa perceraian itu adalah
suatu perbuatan yang halal, tetapi paling dibenci Allah. Tapi, faltanya,
perceraian itu menjadi fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Dalam
Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah
tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara,
bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar
terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di atas
bangunan keluarga yang berantakan.
Apabila
angka perceraian di masyarakat terus mengalami peningkatan, itu menjadi
bukti kegagalan dari kerja Badan Penasehat pembinaan Pembinaan
Pelestarian Perkawinan (BP4). Kasus perceraian suami-isteri ternyata
jumlah isteri yang menggugat cerai suami makin meningkat. Hal merupakan
fenomena baru di enam kota besar di Indonesia. Terbesar adalah di
Surabaya.
Berdasarkan
data, di Jakarta dari 5.193 kasus, sebanyak 3.105 (60 persen) adalah
kasus isteri gugat cerai suami dan sebaliknya suami gugat cerai isteri
1.462 kasus. Di Surabaya dari 48.374 kasus sebanyak 27.805 (80 persen)
adalah kasus isteri gugat cerai suami, sedangkan suami gugat cerai
isteri mencapai 17. 728 kasus. Di Bandung dari 30.900 kasus perceraian,
sebanyak 15.139 (60 persen) adalah kasus isteri gugat cerai suami dan
suami gugat cerai isteri sebanyak 13.415 kasus. Selanjutnya, di Medan
dari 3.244 kasus sebanyak 1.967 (70 persen) adalah isteri gugat cerai
suami dan suami gugat cerai isteri hanya 811 kasus. Di Makassar dari
4.723 kasus sebanyak 3.081 (75 persen) adalah isteri gugat cerai suami,
dan suami gugat cerai isteri hanya 1.093 kasus. Sedangkan di Semarang
dari 39.082 kasus sebanyak 23.653 (70 persen) adalah isteri gugat cerai
suami dan suami gugat cerai isteri hanya 12.694 kasus.
Penyebab
perceraian tersebut antara lain karena ketidakharmonisan rumah tangga
mencapai 46.723 kasus, faktor ekonomi 24.252 kasus, krisis keluarga 4.
916 kasus, cemburu 4.708 kasus, poligami 879 kasus, kawin paksa 1.692
kasus, kawin bawah umur 284 kasus, penganiayaan dan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) sebanyak 916 kasus. Suami atau isteri dihukum lalu
kawin lagi 153 kasus, cacat biologis (tidak bisa memenuhi kebutuhan
biologis) 581 kasus, perbedaan politik 157 kasus, gangguan pihak
keluarga 9. 071 kasus, dan tidak ada lagi kecocokan (selingkuh) sebanyak
54. 138 kasus.
Tingginya
permintaan gugat cerai isteri terhadap suami tersebut, diduga karena
kaum perempuan merasa mempunyai hak yang sama dengan lelaki, atau akibat
globalisasi sekarang ini, atau kaum perempuan sudah kebablasan.
Kesadaran atau kebablasan, itulah antara lain yang menjadi perhatian
kita semua sebagai umat beragama.
D. Kesimpulan
Dari pendahuluan dan beberapa kasus tersebut peran BP4 belum optimal dan tindak lanjut dari penyelesaian kasus belum dapat diselesaikan secara baik.
Disarankan kepada pasangan yang berselisih untuk lebih memahami ilmu
agama, ilmu munakahat, membina kembali keutuhan rumah tangga dengan
saling mengerti dan memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing
pasangan. Kepada BP4 disarankan untuk lebih meningkatkan pelayanannya
kepada masyarakat. Kepada Kepala
Kantor Departemen Agama agar membina dan mengawasi kinerja BP4 agar
lebih optimal dalam menjalankan tugas pokoknya dalam menyelesaikan
perselisihan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku :
Hasbullah Bakry, Kumpulan Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1981.
Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Rineka Cipta, 1991
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 1982
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni, Bandung, 1985.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakara, 1982.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, Sinar Baru Al GenSindo, Yogyakarta, 2001.
Ronny Hanitijo Soemitro, S.H, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta 1990.
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
B. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Undang-undang No.1 Tahun 1974.
UU Nomor 23 Tahu 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990.
Kompilasi Hukum Islam.
C. Sumber-sumber lain:
Piagam Jakarta Undang-undang dasar 1945, Citra Umbara Bandung, 2003