Minggu, 03 Februari 2013

Pelayanan Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)


A. Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut hukum perdata perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[1] Sedangkan menurut hukum islam perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalididzan, untuk menaati perintah Allh dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan perkawinan berdasarkan penjelasan Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal (mendapatkan keturunan) bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menikah atau melangsungkan suatu perkawinan merupakan fitrah manusia yang tidak dapat dihilangkan, tetapi harus dilaksanakan pada jalan yang benar agar tidak menyimpang dari aturan yang pada aKompilasi Hukum Islamnya menimbulkan malapetaka bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia membutuhkan pelengkap hidup berupa perkawinan, laki-laki membutuhkan seorang perempuan sebagai pasangannya, dan perempuan membutuhkan seorang laki-laki sebagai pelindungnya, yang demikian ini merupakan hukum alam.
Tuhan telah menciptakan segala mahluk yang ada dimuka bumi ini dengan berpasang-pasangan. Manusia diciptakan untuk berjodoh-jodohan, agar generasi yang akan datang di muka bumi ini bisa menyambung dan meneruskan cita-cita generasi sebelumnya yang tidak selamanya hidup didunia, karena usia mereka yang terbatas. Apabila ia tidak menurunkan generasi berikutnya, maka tidak ada lagi generasi penyambung perjuangan, dunia akan mati dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Perkawinan adalah perilaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia tetapi juga pada hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang berakal, perkawinan merupakan salah satu budaya beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya tertutup, sedangkan dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan lebih terbuka.
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa, tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia, bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat tetapi juga dipengaruhi ajaran agama, bahkan juga dipengaruhi budaya barat. Jadi, walaupun Bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum positif sebagai landasan dasar melakukan suatu perkawinan, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku ketentuan adat dan upacara-upacara adat dalam melangsungkan perkawinan yang berbeda-beda, antara satu lingkungan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sebagai contoh masyarakat Minangkabau dengan suatu tata tertib perkawinan yang bersendikan keibuan, masyarakat Batak yang tata tertib perkawinannya bersendikan kebapaan, dan masyarakat Jawa yang tata tertib perkawinannya bersendikan kebapak-ibuan, yang di dalamnya tata tertib perkawinan tersebut menggunakan suatu upacara adat perkawinan yang berbeda antara satu dengan lainnya, selain itu juga menurut kepercayaan agama masing-masing.
Suatu cita-cita setiap orang untuk melaksanakan perkawinan dan menginginkan perkawinan itu berlangsung selama akhir hayat, karena perkawinan dalam Islam bertujuan yaitu :
  1. Supaya umat manusia itu hidup dalam masyarakat yang teratur dan tentram, baik lahir maupun batin.
  2. Supaya kehidupan dalam suatu rumah tangga teratur dan tertib menuju kerukunan anak-anak yang shaleh, yang berjasa dan berguna kepada kedua orang tua, agama, masyarakat, bangsa dan negara.
  3. Supaya terjalin hubungan yang harmonis antara suami istri, seterusnya hubungan famili, sehingga akan terbentuk ukhuwah yang mendalam yang diridhoi Allah swt.
Bertolak dari rumusan tersebut bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia, artinya dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita[2].
Dalam prakteknya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan yang sudah ditentukan, seperti terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin siri, kawin kontrak, hal ini berdampak terhadap perlindungan hak-hak dari keturunan hasil pernikahan tersebut. Perintah Nabi SAW untuk melaksanakan pernikahan dan melarang membujang terus-menerus juga sangat beralasan. Hal ini karena libido seksualitas merupakan fitrah kemanusian dan juga makhluk hidup lainnya yang melekat dalam diri setiap makhluk hidup yang suatu saat akan mendesak penyalurannya. Bagi manusia penyaluran itu hanya ada satu jalan, yaitu perkawinan. Yang paling hangat dibicarakan baru-baru ini terjadi perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh Syekh Fuji terhadap Ulfa gadis di bawah umur. Tidak sedikit yang melaksanakan kawin di bawah tangan. Meski menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak dilakukan. Bahkan sebenarnya tidak sedikit perempuan yang mengetahui “ruginya” jika melaksanakan nikah di bawah tangan atau kawin siri, namun tetap saja banyak yang mau melakukannya dengan berbagai alasan. Dengar saja keluhan Ny. Ranti (bukan nama sebenarnya). “Saat ini saya sudah menikah di bawah tangan sebagai istri kedua. Hal ini sudah berlangsung sekitar satu tahun. Kami sangat ingin membuat surat nikah di KUA, namun memerlukan surat izin dari istri pertama suami. Tapi sangat sulit untuk memperolehnya, “ keluh Ranti.[3] Demikian pula pernikahan yang terjadi antara Lutfiana Ulfa (gadis dibawah umur) dengan Syekh Fuji yang terus mendapat sorotan masyarakat dan pemerintah. Terkait perkawinan dini yang dilakukan Pujiono Cahyo Wicaksono alias Syeh Puji terhadap Lutfiana Ulfah, gadis bersuia 12 tahun di Bedono Semarang, membuat berang Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan menilai Syeh Pujiono terindikasi mengidap penyakit pedopilia. Akibat perbuatanya tersebut, menurut Meutia, Pujiono bisa dijerat dengan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Tenaga Kerja dan Undang Undang Perlindungan anak.[4]
Pernikahan yang mengundang polemik di masyarakat tersebut, juga mengundang perhatian Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi, yang terus berupaya membujuk Syekh Puji untuk mengembalikan Ulfah ke pangkuan orang tuanya, karena menurut Seto, Ulfah masih di bawah umur sangat membutuhkan perhatian serius dari orang tua. Bahkan KPAI berharap agar pernikahan siri ini dibatalkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas peran dari Pelayanan Badan Penasehat pembinaan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)
sangat diperlukan, dan bagaimana kiprahnya dalam menangani kasus-kasus seperti tersebut di atas.
B. Peranan BP4 Dalam Upaya Penyelesaian Perselisihan Perkawinan
Peraturan Mentri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 28 ayat (3) menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama dalam berusaha mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) agar menasehati kedua suami istri tersebut untuk hidup makmur lagi dalam rumah tangga”.
Setiap tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah tangga.[i]
Islam dengan tegas menyatakan dalam Al-Quran bahwa perceraian itu adalah suatu perbuatan yang halal, tetapi paling dibenci Allah. Tapi, faltanya, perceraian itu menjadi fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Dalam Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara, bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di atas bangunan keluarga yang berantakan.
Apabila angka perceraian di masyarakat terus mengalami peningkatan, itu menjadi bukti kegagalan dari kerja Badan Penasehat pembinaan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4). Kasus perceraian suami-isteri ternyata jumlah isteri yang menggugat cerai suami makin meningkat. Hal merupakan fenomena baru di enam kota besar di Indonesia. Terbesar adalah di Surabaya.
Berdasarkan data, di Jakarta dari 5.193 kasus, sebanyak 3.105 (60 persen) adalah kasus isteri gugat cerai suami dan sebaliknya suami gugat cerai isteri 1.462 kasus. Di Surabaya dari 48.374 kasus sebanyak 27.805 (80 persen) adalah kasus isteri gugat cerai suami, sedangkan suami gugat cerai isteri mencapai 17. 728 kasus. Di Bandung dari 30.900 kasus perceraian, sebanyak 15.139 (60 persen) adalah kasus isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri sebanyak 13.415 kasus. Selanjutnya, di Medan dari 3.244 kasus sebanyak 1.967 (70 persen) adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 811 kasus. Di Makassar dari 4.723 kasus sebanyak 3.081 (75 persen) adalah isteri gugat cerai suami, dan suami gugat cerai isteri hanya 1.093 kasus. Sedangkan di Semarang dari 39.082 kasus sebanyak 23.653 (70 persen) adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 12.694 kasus.
Penyebab perceraian tersebut antara lain karena ketidakharmonisan rumah tangga mencapai 46.723 kasus, faktor ekonomi 24.252 kasus, krisis keluarga 4. 916 kasus, cemburu 4.708 kasus, poligami 879 kasus, kawin paksa 1.692 kasus, kawin bawah umur 284 kasus, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 916 kasus. Suami atau isteri dihukum lalu kawin lagi 153 kasus, cacat biologis (tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis) 581 kasus, perbedaan politik 157 kasus, gangguan pihak keluarga 9. 071 kasus, dan tidak ada lagi kecocokan (selingkuh) sebanyak 54. 138 kasus.
Tingginya permintaan gugat cerai isteri terhadap suami tersebut, diduga karena kaum perempuan merasa mempunyai hak yang sama dengan lelaki, atau akibat globalisasi sekarang ini, atau kaum perempuan sudah kebablasan. Kesadaran atau kebablasan, itulah antara lain yang menjadi perhatian kita semua sebagai umat beragama.
D. Kesimpulan
Dari pendahuluan dan beberapa kasus tersebut peran BP4 belum optimal dan tindak lanjut dari penyelesaian kasus belum dapat diselesaikan secara baik. Disarankan kepada pasangan yang berselisih untuk lebih memahami ilmu agama, ilmu munakahat, membina kembali keutuhan rumah tangga dengan saling mengerti dan memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan. Kepada BP4 disarankan untuk lebih meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kepada Kepala Kantor Departemen Agama agar membina dan mengawasi kinerja BP4 agar lebih optimal dalam menjalankan tugas pokoknya dalam menyelesaikan perselisihan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku :
Hasbullah Bakry, Kumpulan Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1981.
Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Rineka Cipta, 1991
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 1982
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni, Bandung, 1985.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakara, 1982.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, Sinar Baru Al GenSindo, Yogyakarta, 2001.
Ronny Hanitijo Soemitro, S.H, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta 1990.
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
B. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Undang-undang No.1 Tahun 1974.
UU Nomor 23 Tahu 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990.
Kompilasi Hukum Islam.
C. Sumber-sumber lain:
Piagam Jakarta Undang-undang dasar 1945, Citra Umbara Bandung, 2003

[1] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1982. Hlm. 23
[2] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 1982 hlm 7
[3] Pikiran Rakyat. 5 Juli 2005.

Peran Konselor BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah

sumber : http://rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=847:peran-konselor-bp4-dalam-mewujudkan-keluarga-sakinah-catatan-workshop-penyampaian-hasil-need-assessment-11-13-november-2011-di-cipayung-bogor&catid=1:berita&Itemid=18
 
Pernahkah anda mendengar nama BP4? Tahukah anda apa kepanjangan BP4 itu? Dan tahukah anda bahwa ternyata BP4 itu sudah berubah, tidak hanya kepanjangannya tetapi juga bentuk badan hukumnya?

Ya, ternyata sejak 2009, BP4 yang berdiri pada 1960 ini sudah berganti kepanjangannya sebanyak tiga kali. Pertama, pada 1960, BP4 merupakan akronim dari Badan Penasihatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian. Pada 1977 berubah menjadi Badan Pembinaan, Penasehatan Perkawinan dan Perselisihan Rumah tangga.  Terakhir pada Musyawarah Nasional ke XIV yang berlangsung pada 1-3 Juni 2009, berubah menjadi Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.

Di Munas ke XIV itu juga ditegaskan kembali mengenai posisi BP4 yang merupakan lembaga otonom dan merupakan mitra dari Kementerian Agama RI dengan tugas membantu dan meningkatkan mutu perkawinan dengan mengembangkan gerakan keluarga sakinah.

Masalah-masalah yang muncul akhir-akhir ini terkait dengan perkawinan dan keluarga berkembang pesat antara lain; tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kasus perkawinan sirri, perkawinan mut’ah, poligami, dan perkawinan di bawah umur meningkat tajam yang  sangat berpengaruh terhadap eksistensi kehidupan sebuah keluarga. Oleh sebab itu, dan seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan keluarga, maka BP4 perlu menata kembali peran dan fungsinya agar lebih sesuai dengan kondisi dan perkembangan terkini.

Untuk  menjawab persoalan tersebut, BP4 harus menyiapkan seluruh perangkat pelayanan termasuk SDM, sarana dan prasarana yang memadai. Tuntutan BP4 ke depan  peran dan fungsinya tidak sekadar  menjadi lembaga penasihatan tetapi juga berfungsi sebagai lembaga mediator dan advokasi. Selain itu BP4 perlu mereposisi organisasi demi kemandirian organisasi secara profesional, independent, dan bersifat profesi sebagai pengemban tugas dan mitra kerja Kementarian Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.

Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah melihat kembali peran konselor/mediator BP4. Maka, sejak Agustus hingga Oktober 2011, BP4 Pusat bersama Rahima melakukan Needs Assessment (pemetaan kebutuhan) ‘Peran Konselor BP4 dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan dalam Keluarga (Keluarga Sakinah)’. Kegiatan ini mendapat dukungan dari Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), dan UNFPA. Pemetaan kebutuhan, dilakukan di enam wilayah (Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Indramayu, Cianjur, Tangerang Selatan, dan Depok), dan menghasilkan berbagai temuan. Hasil temuan tersebut kemudian di workshop-kan pada 11-13 November 2011 di Hotel Dwima, Cipayung, Bogor.
Hasil yang diharapkan dari workshop tersebut, pertama, adanya laporan hasil need assessment yang lebih komprehensif karena telah mendapat tanggapan dan masukan dari peserta; kedua, adanya sejumlah rekomendasi baik untuk pemerintah maupun pihak-pihak yang memiliki visi dan misi yang sama dengan BP4; dan ketiga, adanya draft modul konseling yang berperspektif kesetaraan untuk konselor BP4.
Workshop yang digelar selama 3 hari tersebut dihadiri oleh 10 informan perwakilan dari 6 wilayah penelitian, 7 peneliti, 3 perwakilan BP4 Pusat, 1 perwakilan dari Komnas Perempuan, dan 1 perwakilan dari URAIS Pusat. Sementara perwakilan dari UNFPA dan KPP-PA, pada pelaksanaannya berhalangan hadir. Workshop difasilitatori oleh Ida Rosyidah, MA, dan kepanitiaan dari Rahima. Jumlah seluruh peserta, undangan, fasilitator dan panitia yang mengikuti workshop adalah 25 orang.
Alhamdulillah, tiga target yang ingin dihasilkan dalam workshop tersebut dapat dicapai. Untuk laporan hasil pemetaan kebutuhan, ada sejumlah masukan, terutama terkait sejarah berdirinya BP4 dan prestasi-prestasi yang sudah dicapai oleh BP4. Untuk rekomendasi, ada beberapa lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah yang menjadi target dari Rekomendasi terkait dengan kinerja BP4. Terakhir, tersusunnya draft outline modul yang berperspektif kesetaraan untuk Konselor BP4.
Untuk merealisasikan ketiga target tersebut, ada sejumlah langkah yang dirumuskan (Rahima menyebutnya dengan istilah RTL, Rencana Tindak Lanjut): Pertama, BP4 dan Rahima perlu duduk bersama lagi untuk mendiskusikan lebih detail mengenai tindaklanjut dari rekomendasi (penjadwalan waktu audiensi, hal-hal apa yang akan disampaikan ketika audiensi, penentuan tim penulis modul, dan penentuan jadwal penyelesaian modul); kedua, tim peneliti membuat executive summary yang kemudian disosialisasikan kepada peserta workshop dan instansi yang menjadi target rekomendasi. Ketiga, peserta baik secara individu dan mewakili daerah, perlu mensosialisasikan dan merealisasikan komitmen yang telah disampaikan oleh masing-masing peserta pada saat refleksi dan evaluasi kegiatan workshop. Demikian, laporan ringkas workshop hasil need assessment peran Konselor BP4 dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan dalam Keluarga.(Anis)
_______
Berita ini merupakan  catatan workshop penyampaian hasil need assessment 11-13 November 2011, di Cipayung Bogor